Meninjau Kebijakan Energi Gas Rusia Sebagai Manuver Politik Terhadap Eropa

Photo: Jitunews.com

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini hingga masa yang akan datang kebutuhan energi gas akan menjadi suatu kebutuhan penting bagi negara-negara dunia seiring dengan banyaknya ancaman eksternal dan kekhawatiran menipisnya sumber daya alam minyak dikemudian hari. Pada abad ini, Rusia merupakan negara yang memiliki energi gas terbesar di dunia. Sumber energi Rusia dikatakan menjadi sektor yang cukup menjanjikan bagi perekonomian negaranya.  Negara ini memiliki 87 miliar barel cadangan minyak, 1.163 triliun kaki kubik cadangan gas, dan 157 juta ton cadangan batu bara. Pertumbuhan ekonomi Rusia sebagian besar didorong oleh ekspor energi dengan pendapatan minyak dan gas menyumbang 52 persen seluruh pendapatan negara.[1] Hal tersebut menjadi sebuah kekuatan bagi Rusia yang menjadikan  banyak negara-negara dunia khususnya Eropa bergantung pada energi gas Rusia.

Dengan kekayaan yang dimilikinya, Rusia pada masa kepemimpinan Vladimir Putin merasa ingin untuk memanfaatkan sumber daya energi yang dimilikinya untuk bangkit sebagai negara adidaya sekaligus nenegaskan posisi penting dan eksistensinya dalam dunia internasional, khususnya dalam menyebarkan pengaruh di kawasan Eropa yang saat ini bergantung gas padanya. Contohnya adalah krisis gas di Eropa yang menyebabkan sengketa antara Rusia-Ukraina pada 2006 silam. Krisis gas antara Rusia dan Ukraina terjadi disebabkan oleh perbedaan harga gas dan kecurigan Rusia terhadap Ukraina mencuri gasnya yang mengalir melalui pipa gas di Ukraina. Pada 1 Januari 2006, Rusia lewat Gazprom, perusahan gas milik negara, menghentikan pengiriman dan pasokan gasnya ke Ukraina setelah sengketa harga berkepanjangan dan keterlambatan pembayaran hutang Ukraina kepada Rusia. Hal ini membuat panik negara-negara Eropa terkait dengan masa depan permasalahan suplai energinya karena suplai gas terbesar dari Rusia melalui jaringan pipa Ukraina. Perselisihan antara Rusia-Ukraina mengenai pasokan gas ini dimulai ketika Rusia merasa perlu untuk menerapkan kebijakan keamanan energinya terhadap negara-negara importir gas Rusia, khususnya Uni Eropa (UE).[2]

Penghentian pasokan gas Rusia kepada Ukraina tentu sangat berdampak pada kelangsungan konsumsi gas negara-negara Eropa. Hal tersebut dikarenakan 80% aktivitas ekspor gas Rusia ke Eropa dijalankan melalui pipa yang berada di Ukraina. Latvia, Slovakia, Estonia, dan Finlandia adalah negara yang 10% bergantung pada Rusia.  Selain itu yang bergantung lebih dari 80% adalah Bulgaria, Lithuania, dan Czech Republik. Sedangkan yang bergantung lebih dari 60% yaitu Yunani, Austria dan Hongaria.[3] Ditengah konflik, Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Petro Poroshenko juga sempat mengadakan perundingan terkait sengketa gas tersebut. Hingga pada akhirnya setelah melakukan perundingan di Brussel, Belgia, pada Kamis, 30 Oktober 2014, Rusia sepakat kembali memasok gas ke Ukraina dan negara-negara Uni Eropa dengan janji bahwa Uni Eropa akan menjadi penjamin untuk pembelian gas oleh Ukraina dari Rusia dan akan membantu pemenuhan utang Ukraina yang mencapai US$ 4,6 miliar.[4]

Bila dicermati, nampaknya konflik ini adalah salah satu upaya bagi Rusia untuk kembali bangkit menjadi negara superpower atau setidaknya kembali memiliki pengaruh kuat di dunia Internasional. Menurut Antony Froggatt, peneliti senior pada Chatham House mengatakan, Rusia mungkin akan terus menggunakan sengketa gas sebagai alat politik. Rusia yang menaikan harga jual gasnya ke Ukraina sebesar 44% tersebut dikatakan Froggatt karena ekonomi Rusia sangat bergantung pada energi, yang bilamana jika Ukraina menghambat nilai keuntungan ekonomi bagi Rusia, Rusia tentu akan menaikkan harga jual gasnya pada Ukraina dan negara Eropa lainnya.[5]

Menurut penulis, kesungguhan Putih memang terlihat dalam upayanya dalam membangun kembali kekuatan Rusia pasca Uni Soviet tumbang. Putin sedang giat-giatnya berpartisipasi dalam dunia internasional untuk meningkatkan peran Rusia di dunia internasional sambil tetap menjaga pengaruhnya agar dapat kembali mendapat gelar adidayanya seperti kekuatan Uni Soviet dahulu. Dan kekuatan ekonomi dari minyak dan gas digunakannya dalam meningkatkan pengaruh Rusia. Masha Lipman, dari pusat kajian Carnegie Centre di Moskow mengatakan Rusia semakin mempergunakan kekayaan energi sebagai alat untuk mempengaruhi negara lain, seperti Ukraina dan Belarus.[6]


References:


[1] Siti Nuraisyah Dewi, “Ini Negara Dengan Cadangan Energi Terbesar di Dunia”, http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/482403-ini-negara-dengan-cadangan-energi-terbesar-di-dunia, Diakses 9-1-2015, Pukul 20:05
[2] Anjar Sulastri, “Politik Energi Rusia dan Dampaknya terhadap Eropa terkait Sengketa Gas Rusia-Ukraina 2006-2009”,  http://journal.unair.ac.id/filerPDF/jahieff38801392full.pdf, Diakses 9-1-2015, Pukul 21:12
[3] Ibid; Hlm 10
[4] Aningtias Jatmika, “Akhirnya, Rusia Setuju Tetap Pasok Gas ke Ukraina”, http://www.tempo.co/read/news/2014/10/31/117618485/Akhirnya-Rusia-Setuju-Tetap-Pasok-Gas-ke-Ukraina, Diakses 9-1-2015, Pukul 23:20
[5] Voaindonesia.com, “Gas Alam, Alat Politik Rusia untuk Tekan Ukraina dan Barat”, http://www.voaindonesia.com/content/gunakan-gas-alam-rusia-tekan-ukraina-dan-barat/1891806.html, Diakses 9-1-2015, Pukul 22:50
[6] bbc.co.uk, “Upaya Rusia di panggung dunia”, http://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2006/07/printable/060714_rusia.shtml, Diakses 9-1-2015, Pukul 23:03

1 Comments